Mengejar Dua Kelinci

MR6

Mustofa Romdloni
Direktur Pesta Wirausaha TDA

Salam Hangat,

Sewaktu saya mengisi kuliah tamu tentang kewirausahaan di almamater saya Teknik Kimia Undip Semarang, seorang mahasiswi bercerita, bahwa dia dan timnya diberi kepercayaan untuk membuat bisnis dengan bantuan modal dana yang lumayan dari lembaga tertentu. Kemudian dia bertanya, apakah dana tersebut sebaiknya untuk memulai beberapa bisnis-bisnis kecil, atau langsung digunakan untuk memulai satu bisnis besar dengan modal besar.

Seperti biasa, untuk menjawab pertanyaan semacam ini, saya langsung mengingat ingat nasehat para jagoan bisnis. Salah satunya Dahlan Iskan yg mengatakan ”Fokus adalah rukun iman dalam bisnis”. Juga salah satu pengibaratan bagus yang saya ingat tentang sinar matahari, bahwa sinar matahari yang menyebar bebas kemana-mana, maka dia akan memberi rasa hangat saja. Akan tetapi sebagian kecil sinar matahari yang di fokuskan dengan lensa,menjadi satu titik, maka dia mampu membakar benda-benda.

Kepada mahasiswi tsb, saya lanjutkan penjelasannya bahwa, mulai membangun bisnis bukan hanya tergantung pada kecil dan besarnya bisnis atau modal saat memulai. Boleh saja memulai dengan bisnis kecil dan modal kecil, tapi harus fokus dan serius mengurusnya. Sehingga dari yang kecil akhirnya menjadi besar atau menjadi banyak cabang.

Dan bukan berarti mentang-mentang modal besar boleh langsung buka macam-macam bisnis. Karena kita tidak akan fokus alias tidak maksimal dalam mengembangkan usahanya. Mulai saja dengan sebuah bisnis, kalau sudah dijalanin dan ‘mentok’ atau tidak berhasil, baru buka bisnis baru.

Meskipun Tidak ada juga rumus baku kapan usaha disebut ‘mentok’, karena menyangkut pendapat dan target atau visi pribadi masing-masing pengusaha. Bisa usaha memang gagal total, atau tidak tren lagi, tidak bisa berkembang, pemilik yang tidak bergairah karena tidak sesuai passion, atau meskipun menghasilkan tapi sudah jelas belum bisa mencapai target sang owner. Seperti Tung Desem cerita di PWU 2013 bulan Februari lalu, bisnis pelatihannya tidak akan bisa membawa income trilyunan yang menjadi target dia, makanya dia terjun ke bisnis properti.

Waktu itu juga saya sampaikan ke mahasiswi tsb, memulai usaha dengan modal besar juga sangat bagus, tetapi sebaiknya ada partner atau anggota tim yg ahli dibidang itu untuk menjalankanya. Kalau tidak punya ya coba nyari orangnya dulu. Kalau nggak ketemu yang ahli, lebih baik mulai dari yang relatif kecil, karena ada proses belajar disitu yang terkadang perlu waktu dan biaya besar. Jangan sampai sewaktu dalam proses trial error, sudah kehabisan tenaga duluan, karena terlalu banyak modal keluar didepan.

Bahkan, Pak JK di PWU jg berpesan, bahwa beliau merasa ada kesalahan juga karena dahulu semua bisnis beliau kerjakan, yang penting menghasilkan keuntungan. Meskipun itu sangat wajar ketika modal sudah berlebih dan peluang terbuka lebar, apalagi dengan semangat anak muda yang membara. Tetapi beliau berpesan, sebaiknya ada bidang yang kita fokus dan menjadi ahlinya di situ.

Memang harus kita akui, ada godaan besar untuk segera memiliki bermacam-macam bisnis dan ingin cepat membuat sebuah grup yang bisnisnya menggurita kemana-mana. Sesuatu yang sangat memacu adrenalin bagi para pemilik sifat koleris kuat yang selalu ingin memimpin dan cepat maju di depan. Atau kaum sanguinis yang selalu menjadi pusat perhatian, karena kreatif dan selalu punya ide untuk muncul dipanggung. Atau keinginan segera memiliki kartu nama ataupun tanda tangan di email, dengan mencantumkan banyak bisnis yang ditekuni hingga berbaris-baris.

Akan tetapi, ungkapan kepada mereka yang ingin memiliki bermacam-macam bisnis adalah seperti yang sering ditampilkan di layar televisi, “adegan ini hanya bisa dilakukan oleh profesional”.

Mungkin karena panggilan jiwa kita yang tidak sesuai untuk menangani sebuah bisnis dibidang baru, seperti  pengalaman Hartley Pevey bahwa dia telah membohongi diri dengan merasa punya minat dan bakat bermain gitar, dan akhirnya mengakui bahwa dia adalah pemain gitar yang buruk. Namun dia akhirnya yakin dan jujur untuk mengikuti panggilan jiwa sejatinya, yakni membangun salah satu perusahaan elektronik dibidang musik terbesar di dunia. Bahkan kini nilai perusahaannya telah bernilai lebih dari 500 juta dollar, dengan lebih dari seratus paten dibidang musik. Dan produknya telah menyebar ke seluruh dunia, dan kita sering sekali melihat merek Pevey dipakai dalam pertunjukan musik di indonesia.

Bisa juga faktor kemampuan, seperti yang diungkapkan oleh Lee Iacocca yang saya temukan dalam biografinya, dia yang adalah presiden Ford yang legendaris, dan dipecat oleh Henry Ford II sang cucu dari pendiri Ford Motor Company.  Tidak berapa lama, banyak perusahaan dari berbagai bidang meminta dia untuk bergabung menjadi pimpinan,  dia menyatakan “Saya tidak sependapat dengan mereka yang mengatakan bahwa kecakapan usaha dapat digunakan dibidang apa saja dengan hasil yang setaraf, bahwa presiden Ford dapat mengelola setiap perusahaan yang besar dengan sukses yang sama”. Dia juga mengibaratkan dalam suatu orkes, seorang pemain terompet yang sudah 20 tahun bermain, tidak serta merta bisa ditunjuk dirigen untuk memainkan piano.

Sampai titik tertentu, dengan sumber daya dan kemampuan yang sudah mumpuni, menumbuhkan perusahaan dengan memasuki berbagai bisnis tentu terasa mudah dan menggairahkan. Apalagi kalau kita memang memiliki target untuk cepat menjadi besar. Itu jugalah yang dilakukan grup-grup perusahaan besar yang telah memiliki dukungan yang sangat memadahi termasuk dalam memilih para profesional yang sangat kompeten dan berpengalaman mengelola dan mengembangkan suatu usaha baru dalam sebuah grup bisnis atau holding company.

Kalau kemampuan sumber daya kita masih terbatas, tetapi telah ingin membuka bermacam-macam bisnis, mungkin nasihat bijak yang dari orang terkaya di  Kota Meredian, Mississipi patut kita ingat, yakni tentang kegagalan dalam berfokus, “Jika Anda mengejar dua kelinci, keduanya pasti akan meloloskan diri”. Dan saya yakin kita semua bisa melihat buktinya dalam diri kita, atau orang-orang di sekitar kita.

Meskipun sempat mengalami beberapa distruksi yang cukup banyak manguras materi, enerji dan waktu, akhirnya saya pribadi putuskan untuk terus berfokus dalam dunia bisnis plastik dan polimer yang sudah mulai saya kenal dari dunia kerja belasan tahun lalu. Dan sebuah kebahagiaan tersendiri, ketika dalam suatu kesempatan saya bertemu untuk kedua kalinya dengan seorang pengusaha besar dan sangat senior yang juga salah seorang maestro di industri plastik dan polimer Indonesia. Ketika beliau saya tanya, apakah masih ingat saya, maka beliau mengatakan bahwa dalam dunia plastik pasti dia bisa ingat saya, karena cuma saya yang pakai jenggot.

Ruang untuk berkembang yang kami nilai masih luas, target untuk menjadi perusahaan nomer satu atau nomer dua di Indonesia dalam industri kami, serta semangat untuk menjadi pemain regional yang disegani, adalah sebuah magnet yang menarik kami untuk terus berfokus pada bisnis utama, meski berdatangan peluang yang cukup menggiurkan. Saya selalu meyakinkan diri dan kepada seluruh tim, bahwa masih terbuka kesempatan untuk berkembang, bahkan hingga puluhan kali lebih besar dari sekarang.

Dan saya pribadi berpendapat, membangun bisnis, bukan sekedar menghasilkan kekayaan, tetapi adalah layaknya membangun suatu bangunan yang monumental, bangunan kokoh nan megah yang punya nilai artistik, dan bisa terus memberi manfaat, dinikmati dan dikenang oleh banyak orang. Bahkan hingga puluhan atau ratusan tahun yang akan datang.

Bagaimana dengan Anda? Apakah Anda sedang mengejar beberapa kelinci ?

Salam Great Entrepreneur !

Mustofa Romdloni
Pengusaha & Penulis buku “Sederhana tapi Dahsyat”
Twitter @tofazenith

Share

Add Your Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *