Kisah dari Victoria Park, Hongkong – TDA Goes to Hongkong

TDA goes to Hongkong 3Kawan-kawan, sejujurnya, salah satu kebahagiaan saya pribadi setelah menjadi pengusaha adalah, ketika melakukan perjalanan ke luar negeri, maka tidak di haruskan membuat laporan, inilah salah satu perbedaan perjalanan versi pengusaha dan perjalanan dinas versi seorang karyawan sebuah perusahaan yang saya nikmati.

Akan tetapi, karena diberi amanah oleh teman-teman TDA Goes to Hongkong yakni Zainal Abidin/Jay Teroris (@jayterosis), Hantiar (@Hantiar), serta Andi Sufariyanto (@andisufariyanto) dari Surabaya, dan terutama oleh Sekertaris Umum TDA Barra (@Barra___) yang menanyakan terus, kapan diposting tulisan ke Hongkong, maka saya berusaha menuliskan sedikit reportase dari kegiatan kami selama di Hongkong tanggal 21-25 September 2013.

Sabtu shubuh kami mendarat di Bandara Internasional Hongkong, sambil sarapan di resto Mc Donald kami menunggu Susie Utomo yang akan menjemput, beliau adalah ketua dan pendiri komunitas CahayaQu. Dengan bis sekitar satu jam, dari bandara kami menuju tempat menginap, sebuah guest house sederhana tetapi berada di Patterson Street, lokasi yang strategis di antara pusat perbelanjan di daerah Causeway Bay, salah satu pusat kota Hongkong. Karena lokasi dan biaya yang cukup bagus, maka kami putuskan di guest house tersebut kami menginap selama di Hongkong.

Setelah beres-beres dan mampir sebentar ke markas CahayaQu, kami segera berjalan menuju Victoria Park, sebuah taman umum seluas sekitar 19 hektar, yang ditata sangat rapi, sebagai taman bermain dan olahraga untuk warga Hongkong. Taman ini juga menjadi tempat berkumpul paling diminati oleh sahabat-sahabat Buruh Migran Indonesia (BMI) yang ada di Hongkong.

Berjalan di Victoria Park pada hari Sabtu itu, maka bisa kita temui banyak sekali BMI yang berkelompok-kelompok, dan semaikn banyak di hari minggunya, karena libur mereka ada yang dihari Sabtu dan lebih banyak di hari Minggu. Mereka berkelompok-kelompok di area taman dan sekitarnya. Ada yang bekumpul dan mengobrol di bawah jembatan jalan di dekat taman, ada juga yang menggelar tikar dan sekedar bercengkerama di rerumputan, dan banyak juga kelompok-kelompok yang lebih kreatif dan positif, yakni dengan bertukar keahlian menata rias, dan juga kelompok-kelompok pengajian, bahkan dengan penceramah yang datang dari Indonesia.

Bertempat di salah satu area dengan tenda putih besar seperti payung raksasa yang ada di sebuah sudut taman Victoria Park, maka acara sharing bisnis komunitas TDA dengan audiens para Buruh Migran Indonesia yang berada di Hongkong pun dimulai. Peserta hari Sabtu itu tidak terlalu banyak, hanya sekitar 30-40 orang karena memang kebanyakan dari teman-teman kita ini libur di hari Minggu. Akan tetapi yang kami lihat adalah semangat mereka yang luar biasa, bahkan ada yang harus menempuh 2 jam perjalanan, karena kota yang cukup jauh dari lokasi acara.

TDA goes to Hongkong 11Hari kedua sharing di hari Minggu dihadiri lebih dari 100 orang, dan berjalan dengan sangat antusias, meski pagi itu sempat diguyur gerimis yang cukup deras. Dan ancaman angin taifun yang akan melalui kota Hongkong telah diperingatkan oleh pemerintah Hongkong sejak malam hari. Bang Jay yang baru sampai di Hongkong pagi itu, memulai acara sharing hari kedua dengan sangat menggebrak dan membuat emosi peserta teraduk-aduk, bahkan histeris. Acara sharing seperti hari pertama, segera dilanjut dengan tanya jawab yang berjalan dengan sangat hidup dan dilanjut foto-foto seru tentunya, bahkan Pak Hantiar sampai kerepotan melayani permintaan foto-foto dari peserta yang semuanya wanita ini.

Hampir semua peserta bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Akan tetapi kondisi mereka sangat beragam, dari yang sudah belasan tahun bekerja di Hongkong, baru beberapa bulan ataupun mereka yang sudah akan menyelesaikan kontrak kerja dan akan kembali di Indonesia. Banyak yang belum tahu gambaran bagaimana berbisnis, sampai dengan mereka yang sudah menjalankan usaha di Hongkong maupun di Indonesia. Para generasi baru bahkan banyak yang bekerja sambil kuliah dan belajar berbisnis selama di Hongkong.

Diskusi motivasi dan teknis bisnis banyak dilakukan selama acara, bahkan karena Ibunda Barra juga turut serta dalam lawatan ini, beliau bukan hanya menjadi pemberi nasehat yang sangat pas dengan para tenaga kerja wanita ini, bahkan telah menjadi Ibunda yang sebagai tempat curhat dan mencari nasihat, untuk masalah pribadi dan keluarga mereka.

Tiga proses utama yang coba dilakukan oleh para BMI ini adalah, pertama bagaimana bisa belajar dan meningkatkan kemampuan berbisnis selama mereka di Hongkong, kedua bagaimana sudah mulai melakukan bisnis di Hongkong, ceruk pasar warga Indonesia yang lebih dari 150 ribu orang adalah potensi besar untuk memenuhi kebutuhan mereka, kemudian proses ketiga adalah, bagaimana mereka sudah memiliki bisnis atau menjadi pebisnis setelah kembali ke Indonesia. Adalah tiga pertanyaan dan proses utama yang mencoba dicari jawabannya dalam membantu teman-teman kita ini.

Dan ini juga bisa menjadi peluang kerjasama untuk para pebisnis, teman-teman member TDA di Indonesia sekarang, menjadi pemasok untuk kebutuhan mereka di Hongkong, dan juga menjadikan mereka partner atau agen setelah kembali ke Indonesia.

Berjalan-jalan di hari libur di Hongkong, bisa kita jumpai para tenaga kerja di Indonesia yang sebagian ‘terlihat’ sangat menikmati bahkan sudah beradaptasi dan ‘bergaya hidup’ layaknya warga Hongkong dengan celana pendek, rambut dicat dan nongkrong di kafe atau di taman. Banyak juga yang berusaha sekuat mungkin mempertahankan ideologi dan tradisi mereka sebagai ‘orang kampung’ dari Indonesia dan memiliki komunitas sendiri. Sebagian dari mereka juga telah berusaha menjadi manusia baru yang lebih berkualitas, dengan tekad sepulang dari Hongkong akan menjadi manusia yang meningkat kualitasnya pribadi secara keseluruhan, bukan hanya ekonominya saja.

Kami juga berkesempatan ke perwakilan Dompet Dhuafa di Hongkong, dan mengerti bahwa meskipun di Hongkong yang sudah cukup terkenal dengan perlindungan dan perlakuan terhadap tenaga kerja Indonesia dengan cukup baik, ternyata masih menyisakan banyak persoalan. Malam itu saja kami bertemu belasan buruh yang ditampung di shelter Dompet Dhuafa, dari mereka yang bermasalah dengan pemecatan dan diusir karena kesalahan-kesalahan sepele, sampai dengan buruh yang melarikan diri dan ditemukan di kolong jembatan dengan sangat mengenaskan, karena lima tahun di sekap dan tidak diperlakukan layak, juga buruh yang disiksa oleh majikannya.

Selama di Hongkong kami sempat berkeliling dengan transportasi massal yang keren, seperti bis dan kereta, serta menikmati tempat-tempat kuliner muslim yang ada. Hongkong yang sangat padat ternyata hanya sedikit macet, karena mereka telah berhasil membuat orang kaya naik bis dan kereta, bukan sebaliknya dengan di Indonesia yang telah macet, pemerintah tidak berusaha membuat semua orang naik trasnportasi umum, tapi malah berusaha membuat orang kurang mampu supaya bisa membeli mobil dengan kebijakan mobil murah, yang sudah pasti menambah macet.

Kembali ke masalah buruh migran Indonesia yang ada di Hongkong, setelah berinteraksi dan mendapat curhat secara langsung, kami menyadari bahwa meskipun dengan perolehan gaji yang lumayan yakni sekitar Rp. 5 jt/bulan untuk seorang pembantu rumah tangga, selalu muncul kegamangan, sampai kapan mereka sanggup bekerja dan dibayar?, bagaimana nasib anak-anak yang jauh dengan ibunya ? Suami yang jauh dengan istrinya? Bagaimana mereka yang merantau dan tidak beruntung memperoleh majikan yang baik dan tidak mendapat perlakuan dan perlindungan ? Jika di Hongkong saja seperti ini, bagaimana dengan nasib buruh migran Indonesia di negara-negara lain yang lebih semrawut ? Bagaimana negara Indonesia yang masih di cap sebagai negara para pembantu ?

Bagaimana bisa membantu mereka dan mengurangi ekspor tenaga kerja sebagai pembantu? Ya dengan menciptakan banyak pengusaha yang menyediakan lapangan kerja sebanyak mungkin. Termasuk sedikit yang sudah teman-teman TDA lakukan seperti di Hongkong ini bisa terus ditingkatkan, juga dinegara-negara lain.

Saat ini telah terbentuk grup chatting whatsapp dan komunitas TDA Hongkong meski belum di resmikan. Sebagai bentuk komitmen TDA untuk terus mendampingi teman-teman di Hongkong dalam berproses menjadi pengusaha sukses. Sudah dibahas rencana untuk membuat seminar besar di Hongkong di akhir tahun 2013 ini, sebelum dilaksanakan Pesta Wirausaha Hongkong di awal 2014, berkerjasama .

Akhirnya acara Sharing Bisnis Komunitas TDA bekerjasama dengan CahayaQu saat itu ditutup dengan  penyerahan cenderamata Pengurus Pusat yang di wakili Sekum Mas Barra kepada perwakilan calon pengurus @TDAHongkong.

Sedikit kisah penutup, bahwa meski kami ikhlas berangkat dengan biaya sendiri, setelah turun dari pesawat saya menyalakan handphone dan membaca SMS dari seorang Direktur perusahaan yang sudah lama menjadi target pasar, rupanya setelah mencoba menelfon tidak bisa, beliau mengirim SMS yang isinya singkat.. “Pak Mustofa tolong hubungi saya, saya mau order”. Dan juga sedikit kisah dari Mas Andi yang sebelum pulang tersenyum-senyum, rupanya karena banyak peminat produk dari bisnis beliau, sampai dibentuk reseller di Hongkong dan sudah terkumpul ratusan potong pakaian muslim diorder hanya dalam beberapa hari. Mungkin ini bagian dari ungkapan, semakin banyak memberi, maka kita juga akan banyak menerima.

Menulis, mewakili teman-teman yang mengikuti TDA Goes To Hongkong 21-25 September 2013

 

Sampai jumpa @PestaWirausahaHKG.

Mustofa Romdloni (@tofazenith)

 

 

Share

Add Your Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *